Archive for 2012
Bila mengingatmu,
Saat terakhir kita bersama dengan pakaian putih abu-abu. Saat hari terakhir aku mengenakannya sepulang sekolah di SMA dahulu. Saat kukatakan padamu bahwa aku harus meninggalkan kota kecil ini, untuk sebuah cita-cita dan masa depan seperti banyak orang impikan.
Jakarta. “Aku pergi untuk sementara, berat memang. Tapi kadang kita harus melakukan hal yang memberatkan hati kita, untuk sebuah cita-cita yang lebih besar. Bukan berarti cinta nggak lebih penting, bukan. Cinta biarlah berjalan meski dipisahkan oleh tempat dan waktu.”
“Tapi .. bisakah kita bertahan sampai waktu itu tiba ? ", dengan nafas tertahan.
Aku tak kuasa mengucapkan kalimat lebih banyak lagi. “Semoga, kita akan berusaha, .”
Saat bus malam yang kutumpangi melaju dari kota kecil kita dahulu. Lewat hembusan angin yang semakin menjauhkan aku dengan dirimu, kutitipkan pesan “Maafkan , aku harus meninggalkanmu. Kuharap ini tak kan lama, kita akan bersama lagi untuk kisah kasih yang sempat tertunda. Aku harus merengkuh cita-citaku di kota Jakarta”. Aku yakin bibirmu pasti tersenyum getir sebab harus menanti beberapa tahun untuk kepastian berlabuhnya cinta kita di pelaminan. Waktu demi waktu berlalu, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tak terasa kau telah tumbuh menjadi gadis dewasa, dan kota kecil kita yang tak memberi harapan untuk masa depan, membuatmu mengikuti jejakku mengadu nasib di kota pahlawan, Surabaya. Aku tak mengerti mengapa engkau harus terdampar di kota itu. Mengapa sebuah cinta yang dulu subur di hati kita, sulit untuk bertemu dan menyatu, menjadi impian setiap pasangan kaum adam dan hawa. Masih kuingat saat hari raya kau telah siapkan kue-kue lebaran untuk menyambut kepulanganku, tapi semua itu tak sampai kita nikmati bersama. Kota Jakarta terlalu membelengguku dengan segala hiruk pikuknya.
Bukan karena aku telah memiliki penggantimu, juga bukan karena telah memudarnya cintaku. Tapi karena ketakutanku saat kumendengar ibumu ingin aku segera melamarmu. Sementara cita-citaku masih tergantung tinggi di awang-awang. Aku belum siap untuk sebuah biduk rumah tangga.
Hingga suatu saat kau berpamitan kepadaku. “, rasanya kita tak harus sampai ke mimpi kita. Ibuku sudah ingin menimang cucu, setelah kupertimbangkan masak-masak, dengan berat hati kita harus menyudahi hubungan kita. Ibu sudah menjodohkan aku dengan pilihannya. Aku khawatir dengan kondisi ibu yang sudah mulai sakit-sakitan Aku ingin berbakti kepadanya, selagi aku bisa. Termasuk mengorbankan rasa cintaku padamu.” Membaca sepucuk surat terakhirmu, seribu macam perasaan campur aduk menggemuruh di dadaku. Kecewa, getir, galau , resah, gundah, tapi tak kuasa untuk memberi jawaban yang bisa menjadi alasan untuk menyelamatkan sebuah cinta yang semakin lama kurasakan sulit untuk disatukan.
Jarak, waktu, cita-cita dan kehidupan ibukota telah menjadikannya terpisah jauh. Surat terakhirmu kulipat dan kusimpan. Kupandangi nyala lampu 5 watt pengantar tidur di kamarku, tempat yang indah saat-saat aku sering membaca surat-suratmu. Tapi kini ku tak akan membacanya lagi, aku telah pasrahkan semuanya kepada Tuhan, bahwa sebuah cinta kadang seperti sebuah keinginan yang tak selalu harus menjadi satu.
Cinta hanyalah perasaan alamiah saat kita mengalami hal-hal yang sama, dan suatu saat bisa saja menjadi tinggal kenangan. Sebuah proses alamiah dua makhluk berlainan jenis, yang nasibnya pun kita tak pernah bisa menduga. Seperti sering kudengar nasehat bijak, jodoh , rejeki dan ajal kita tak akan pernah tahu. jika itu pilihan terbaikmu, aku tak bisa dan tak punya alasan untuk mencegahmu. Aku memahami perasaan dan apa yang menjadi pilihan hidupmu. Begitu juga aku, rasanya tak mungkin kita mempertahankan jalinan cinta ini. Selamat menempuh lembaran hidupmu yang baru, aku bahagia jika kelak kau pun bahagia. Kenangan bersama di antara kita, semoga tak mengganggu jalan hidup kita masing-masing, cukuplah hanya menjadi bunga-bunga masa lalu. Meskipun Tuhan tak mewujudkan keinginan kita untuk bersama, tapi aku yakin kita akan diberi-Nya yang terbaik.
“ Sebuah paragraf perpisahan kutuliskan di surat teakhirku. Kucoba tak membasahinya dengan air mata, karena yakin bahwa tak ada yang harus disesali. Perjalanan hidup manusia tak selalu lapang dan mulus, tinggal keikhlasan menerima segala hal yang tak selalu sesuai dengan kehendak diri. Kini 21 tahun sudah berlalu. Aku telah hidup berbahagia dengan pasanganku yang cantik dan baik hati. Yang telah memberiku satu jagoan kecil. Kehidupan yang sangat membahagiakan. Doaku semoga kamu berbahagia pula, meski aku tak pernah ingin tahu keberadaanmu saat ini. Biarlah cerita masa lalu menguap bersama waktu, dan saat ini adalah cerita nyata dalam lembaran hidup masing-masing.
Ini adalah kisah tentang sepasang suami istri, yang dalam bahtera rumah tangga tersebut, Allah memberikan ujian dengan belum hadirnya buah hati ditengah-tengah kehidupan mereka. Semoga menjadi hikmah bagi kita semua, bahwa ujian adalah memang bagian dari kehidupan yang seharusnya membentuk kita agar menjadi pribadi yang lebih sabar.
Alkisah, suatu hari seorang suami yang setelah pulang dari bekerja, mendapati rumahnya kosong tidak berpenghuni. Istrinya tidak berada dirumah kala itu. Entah mengapa, tiba- tiba seketika itu, meledaklah emosinya. Hal ini semakin bertambah, apalagi setelah melihat istrinya yang tiba- tiba muncul dari balik pintu.
Berkatalah sang suami dengan kemarahannya yang sangat,
" Dari mana saja kau?, aku capek pulang kerja kau malah kelayapan di luar " Si istri tersenyum, dia berniat menjawab pertanyaan suaminya untuk memberikan penjelasan, namun tiba- tiba lehernya terasa seperti tercekik. Sang suami menarik jilbab panjang yang dipakainya hingga nyaris sobek. Dan seketika itu pula si istri terjatuh di tanah. Sejenak sang istri menghela nafas, dan tak terasa air matanya jatuh. Tapi ditahannya mulutnya sendiri agar tidak mengucapkan sesuatu yang membuat kemarahan suaminya semakin menjadi- jadi.
" Aku akan membuatkan air hangat untuk kau mandi, suamiku" kata sang istri sambil menyeka air matanya dan mencoba berdiri. " Tidak usah!" Jawab sang suami dengan keras. " Semakin lama, aku bosan dengan keadaan seperti ini. Aku ingin anak darimu, tapi mengapa kau malah mandul.
Dasar istri tidak berguna!" Lanjut suaminya dengan sangat marah. " Maaf" jawab si istri pelan. " Sudahlah! tidak adagunanya kau minta maaf. Kau ku ceraikan saat ini juga. Aku ingin wanita yang bisa memberiku anak" Jawab suaminya.
Sang istri rasanya seperti tersambar petir, ketika suaminya mengatakan kata cerai yang begitu tanpa beban keluar dari mulutnya. Diabenar- benar tak habis pikir, mengapa suaminya begitu sangat tega kepadanya, bahkan sebelum dia memberikan penjelasan tentang apa yang dilakukannya tadi di luar. Diapun bertanya pada dirinya sendiri, mengapa setelah bertahun- tahun mereka menikah, dan dengan sepenuh hati dia telah melayani suaminya, namun dalam hitungan detik saja, suaminya telah tega menceraikannya. Sang istri terus memohon kepada suaminya agar tidak menceraikannya, namun suaminya bahkan semakin lagi dan lagi dalam mengucapkan katacerai bahkan sampai 3 kali. Setelah itu, di usirlah sang istri dari rumahnya. Keesokan harinya, datanglah seorang ibu tua yang ingin bertamu hendak menemui sang istri. Suaminya hanya menjawab singkat kalau sang istri sudah tidak menghuni rumah tersebut. Si ibu tua kemudian minta ijin menjelaskan sebentar tentang maksud kedatangannya kali ini.
Dia berkata bahwa dia ingin melanjutkan pembicaraan yang terpotong di hari sebelumnya tentang niat sang istri tersebut untuk melamar putrinya tersebut untuk menjadi istri kedua bagi suaminya.
Mendengar hal itu, Sang suami benar- benar terkejut dan tidak menyangka, " Benarkah itu? " tanyanya pendek " Ya, dia bilang dia ingin menyenangkanmu dengan memberikanmu istri yang baru, agar kau peroleh keturunan.Namun dia tergesa- gesa pulang, karena teringat pada jam itu kau pasti sudah pulang, dan dia sangat ingin menyiapkan kebutuhanmu di rumah" Jawab si ibu menjelaskan.
Si suami tidak bisaberkata apa- apalagi. Rasanya tercekat tenggorokannya untuk mengeluarkan bahkan hanya untuk sebuah kata. Dia tidak menyangka, bahwa sang istri telah begitu luas hatinya demi kebahagiaannnya. Namun dia balas semua itu dengan kata thalak 3 yang dengan mudah terlontar untuknya begitu saja, kemarin. Akhirnya... Dengan perasaan penuh sesal, sang suami terus melanjutkan hidup. Dan kali ini episode hidupnya telah sampai pada sebuah pernikahannya yang kedua.
Dia menikahi anak dari ibu tua tersebut. Setelah setahun berlalu, merekapun ternyata belum kunjung dikaruniai seorang anak. Terbersit keinginan sang suami untuk memperoleh keterangan tentang kesehatannya kepada seorang dokter. Setelah beberapa hari, diperoleh keterangan ternyata bahwa dialah yang mandul. Seketika, muncullah kembali bayangan istrinya terdahulu yang begitu sholihah, sangat pengertian, serta sabar menerima keadaan. Hal apapun dihadapi istrinya itu dengan ikhlas tanpa keluhan, walaupun batin sang istri sendiri sering disakiti oleh perangai suaminya yang mudah marah dan sering kali memukulnya.
Rasa penyesalan dan sedih berkepanjangan semakin menyeruak dalam benak sang suami saat itu. Dia merasa bahwa ini adalah hukuman dari Allah karena telah menyia- nyiakan istrinya yang terdahulu yang telah dengan setia menemaninya bertahun- tahun.
Bertahun- tahun pula dia menuduh bahwa sang istri yang bermasalah karena tidak bisa mengandung seorang anak. Namun, ternyata kini semua telah jelas, bahwa dialah justru yang "bermasalah". Dan kini, tidak tersisa apapun baginya kecuali penyesalan yang sangat. Dalam sedih dia berjanji pada dirinyasendiri untuk selalu menghormati istrinya, dan tidak akan dengan gampang mengumbar amarah kepada istrinya kembali, terutama dengan tindakan yang begitu ringannya dia mengobral kata cerai bagi pasangan hidupnya.
Istriku benar-benar istri idaman buatku dan ibu idaman buat anak-anakku.
Saat aku bangun tidur, di samping tempat tidur sudah tersedia teh manis hangat dan roti bakar. Mau mandi bathtub sudah terisi penuh air hangat dengan busanya serta lilin aroma terapi. Selesai mandi telah disiapkan baju dan celana panjang serta sepatu dan kaus kaki baru untuk ku pakai ke kantor.
Menjelang makan siang, istriku menelepon mengingatkan jangan telat makan siang. Walaupun kerjaan padat, makan siang nomor satu. Kerjaan tak akan ada habisnya, selesai satu kerjaan, yang lain akan segera datang minta diselesaikan. Makan siang tak bisa di tunda, sehari hanya satu kali, kalo telat makan, namanya sudah berubah, jadi makan sore atau bahkan makan malam. Selesai makan siang, istriku menelepon mengingatkan apakah sudah sholat Dhuhur, serta jangan lupa sholat Ashar, dan tidak lupa pula ia mengingatkan aku untuk menelepon anak-anak sekedar say hello dan menanyakan aktivitas anak-anak di sekolah pagi harinya. Pulang dari kantor, sampe rumah sekitar jam 7 malam, aku selalu disambut istriku yang sudah tampil rapi, cantik dan wangi. Ia sudah mandi, mengenakan parfum favoritnya.
Istriku melepaskan kancing kemeja dan sepatuku, dan segera menyuruhku mandi karena bath tub telah terisi penuh dengan air hangat, tentunya dengan aroma terapi yang menenangkan pikiran setelah seharian bekerja. Ia mengatakan jangan lama-lama mandinya, karena ia dan anak-anak sudah menunggu di meja makan. Istriku sudah menyiapkan makan malam yang lezat, kadang ia memasak sendiri, kadang ia membeli di restoran.
Menu favoritku jika ia memasak sendiri adalah iga lada hitam, jika membeli di restoran adalah kepiting cak gundul yang full jumbo (kepiting betina dan bertelur). Malam sebelum tidur panjang, istriku membacakan buku cerita buat anak-anak, aku menonton tayangan olahraga di TV Kabel. Setelah anak-anak tertidur, istriku menawari apakah aku mau dipijit olehnya. Ohh baiknya istri yang sangat kusayang dan kucintai ini. Aku tak kuasa menolak. Aki di pijitnya dengan telaten, pijatan demi pijatan sungguh ku nikmati, sampai akhirnya aku tertidur pulas. Setelah aku tertidur lelap, barulah ia ikut tertidur dan kepalanya menyender di dadaku. Aku bisa merasakan betapa ia sangat sayang dengan anak-anak, khususnya denganku.
Hal yang sama juga aku rasakan, aku sangat sayang kepada anak-anak, khusunya sangat sayang kepada istriku tercinta. Semoga cinta dan sayang ini terus tumbuh sampai kami kakek nenek, dan sampai maut memisahkan kita berdua.
Ini kisah seorang istri yang sangat setia kepada suaminya.
Dalam berbagai cobaan dan malapetaka yang mereka hadapi, sang istri selalu tegar mendukung di sisi sang Suami. Si Istri selalu melayani suaminya dengan sangat telaten, ikhlas dan penuh kasih. Mulai menemani makan, mengenakan pakaian, memasang kaos kaki, sepatu, membetulkan letak baju, sampai ketika mencium suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Memasak masakan kesukaan suaminya, menghidangkannya dengan sejuta cinta. Itu ciri-ciri Ibu Rumah Tangga yang konservatif dan kukuh memegang tradisi sopan-santun budaya wanita timur yang sangat menghormati suami.
Suatu hari sang suami tiba-tiba mengalami suatu kecelakaan hebat dan mengalami pendarahan hebat sehingga sang suami wanita setia ini tidak sadarkan diri dan mengalami koma selama beberapa bulan hingga hampir satu tahun. Namun demikian sang istri tetap setia menjaga dan menemaninya setiap hari. Menggantikan pakaiannya tanpa bantuan, membersihkan tubuh suaminya yang tertidur kaku dengan tangan halusnya.
Setiap malam ia berdoa untuk sang suami yang ia sangat cintai itu, agar selamat dari maut dan berkumpul lagi bersamanya. Tangisanpun kadang tak tertahankan saat ia memandangi sang suami yang terbaring lemah. Sang suami sudah terlihat kurus sekali, pucat dan belum ada tanda-tanda sedikitpun untuk siuman. Tapi istri yang setia itu tetap bertahan.
Pada suatu hari akhirnya sang suami bangun dari koma lalu kemudian sang suami langsung memanggil istrinya untuk mendekat. Sang istri yang sangat bahagia karena suaminya sudah siuman, segera menghampiri dengan kebahagiaan yang luar biasa. Sang istri setia duduk di samping tempat tidur suaminya. Setelah berpelukan beberapa saat, sang suami menatap istrinya dalam-dalam dan berkata :
“Sayang, kamu tau nggak, selama ini kamu selalu bersamaku dalam duka.
Kamu selalu bersamaku menjalani semua kepahitan hidup ini.
Sewaktu aku dipecat dari pekerjaanku, kamu tetap bersamaku, sewaktu perusahaanku bangkrut, kamu tidak meninggalkan aku dan tetap bersamaku. Sewaktu aku di tembak perampok dan harus dirawat di rumah sakit, kamu juga bersamaku. Sewaktu rumah kita disita bank, kamu tetap memberikan dukungan buatku. Waktu aku tertabrak mobil perampok bukankah saat itu kamu sedang menyeberang bersamaku, aku patah tulang tapi kamu tetap setia melayaniku.
Sekarang kesehatanku benar-benar memburuk setelah kecelakaan itu, dan kamu juga masih di sini bersamaku.
” Sang suami terdiam sejenak lalu berkata lagi,
“Sayang, kamu tau nggak…” ??
”Tau apa, Mas?” Sang istri yang mulai berkaca-kaca matanya karena terharu biru bertanya dengan lembut dan kalem.
“Aku rasa sayang…” Sang suami kembali terdiam,
“Apa Mas?”
“Aku rasa kamu yang bawa sial”